Oleh : Septiardi Prasety
Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
Pagi itu halaman sekolah tampak lain dari biasanya. Dihiasi wajah-wajah baru yang beberapa diantaranya terlihat erat menggenggam tangan mamanya. Sepertinya mereka gugup dengan lingkungan baru dan teman sekolah yang masih asing. Roman muka ceria itu belum juga terbit meski guru telah mengajak mereka melakukan aktivitas favoritnya yaitu bermain. Ekskalasi ketegangan pun memuncak ketika para siswa diminta masuk ke kelasnya masing-masing. Butir-butir air mata tampak tak terbendung di sela isak tangis karena tidak mau lepas dari genggaman tangan mamanya. Sebuah potret klasik yang biasa dialami siswa baru Madrasah Ibtidaiyah(MI)/Sekolah Dasar(SD) dihari pertama sekolahnya.
Culture shock biasa dialami siswa kelas satu MI/SD saat memasuki sekolah barunya. Kondisi ini dilatarbelakangi beberapa hal. Seperti situasi kelas yang ramai dan sempit yang membuat mereka tidak nyaman dan sulit berkonsentrasi. Di MI/SD, setiap kelas biasanya terdiri dari 30-40 siswa. Berbeda dengan jumlah siswa di TK/PAUD yang perkelasnya bisa 15-20 siswa. Kemudian tuntutan untuk mandiri dan mampu mempelajari semua mata pelajaran yang membuat mereka tertekan. Teman yang masih asing dan cerita kakak kelasnya tentang guru galak membuat anak semakin sulit berpisah dengan mamanya.
Pada minggu-minggu pertama biasanya pihak sekolah memberikan kelonggaran kepada orangtua. Mulai dari mengantar anaknya sampai depan pintu kelas, menunggui mereka di kantin atau halaman sekolah hingga bel pulang berbunyi. Bahkan ada yang sampai menemani anaknya belajar di kelas! Untuk kasus yang terakhir terbilang langka. Meskipun begitu, setiap tahun ajaran baru biasa muncul satu-dua kasus perkelasnya.
Anak yang kesulitan beradaptasi akan terhambat kemampuan belajarnya. Oleh karena itu pada minggu pertama bersekolah, guru biasanya mengadakan kegiatan pengenalan profil lingkungan dan warga sekolah. Kemudian menciptakan permainan interaktif untuk mempererat hubungan mereka dengan teman-teman sekelasnya. Melalui kegiatan tersebut diharapkan siswa merasa nyaman dan proses adaptasi bisa berlangsung lebih cepat.
Peran orangtua pun sangat penting dalam proses adaptasi anak. Motivasilah anaknya melalui pemberian pengertian bahwa sekolah merupakan tempat yang menyenangkan. Tempat memperoleh banyak teman baru dan tempat mempelajari hal-hal baru. Selain itu jalinlah komunikasi yang intensif antara orangtua dan guru. Supaya keduanya dapat berbagi informasi perihal karakter dan perilaku keseharian anak saat berada di rumah dan di sekolah. Informasi ini sangat penting bagi guru dalam mencari solusi kesulitan belajar anak.
Biasanya para orangtua merasa khawatir dengan kondisi dan kemampuan anaknya dalam beradaptasi di sekolah. Ini terlihat dari rutinitas para orangtua dalam mengantarkan anaknya hingga ke depan pintu kelas. Bahkan sering didapati mengantarkan anaknya hingga ke dalam kelas. Tidak sedikit yang menunggui anaknya di luar kelas hingga bel pulang berbunyi. Rutinitas seperti ini harus disikapi karena tidak sehat bagi kemandirian anak. Sepertinya kegugupan orangtua dalam melepaskan anaknya untuk mulai belajar mandiri di sekolah perlu mendapat perhatian dari para guru juga.
Labels:
artikel pendidikan,
Mau sekolah kalau sama mama,
Septiardi Prasetyo
Thanks for reading Mau Sekolah kalau Sama Mama. Please share...!
0 Komentar untuk "Mau Sekolah kalau Sama Mama"