Total Pageviews

Blog Archive

Formulir Kontak



Menyikapi Hasil UN

Menyikapi Hasil UN

Oleh : Septiardi Prasetyo
           Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah


Tanggal 24 Mei peserta didik SMA/MA/SMK mulai menerima hasil Ujian Nasional (UN)-nya. Saya ucapkan selamat kepada kalian dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas pencapaian yang diperoleh. Bagi yang belum menerima hasil UN-nya, saya berpesan untuk tidak bosan berdoa supaya memperoleh ketenangan dan hasil terbaik.
Setiap sekolah memiliki cara tersendiri dalam mengumumkan hasil UN peserta didiknya. Ada yang mengirimkannya ke rumah via pos. Ada pula pula yang mengumpulkan peserta didiknya di sekolah. Kemudian membagikan hasil UN berdasarkan skenario yang disusun sedemikian rupa oleh para guru untuk memberi kesan tak terlupakan bagi peserta didiknya. Misal guru berpura-pura mengumumkan nama-nama peserta didik yang tidak lulus. Tapi kenyataannya semua peserta didiknya lulus.
Namun cara yang lain adalah mengundang para orangtua ke sekolah. Selain mencegah aksi coret-coret seragam sekolah dan konvoi kendaraan bermotor juga untuk memberikan penjelasan perihal kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Seperti strategi pemilihan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang paralel dengan minat dan bakat siswa.
Pada acara tersebut pihak sekolah dapat menjelaskan secara langsung kepada orang tua tentang ujian program paket bagi peserta didik yang tidak lulus dan tidak mau mengulang setahun lagi. Walaupun sebagian masyarakat masih memandang remeh dengan ujian paket namun saat ini ijasah ujian paket tidak berbeda dengan ijasah di sekolah pada umumnya.
Berdasarkan lampiran POS UN SMA/MA/SMK, SMP/MA/SMK peserta didik dinyatakan lulun UN bila nilai rata-rata paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Melalui formula ini diharapkan pemerintah dapat memetakan tingkat kemampuan siswa pada mata pelajaran yang di UN-kan, kualitas guru, pengadaan sarana pendidikan di sekolah dan sebagainya. UN bisa digunakan untuk memetakan pendidikan Indonesia sehingga kelulusan tidak perlu dipaksakan tercapai 100 persen. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh bahwa semua pihak hendaknya tidak memaksakan memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100 persen.
Namun sayangnya fungsi UN untuk memetakan kondisi pendidikan Indonesia tidak berjalan sejak pertama kali diberlakukan tahun 2004. Pakar pendidikan dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto mengatakan Delapan tahun UN dilaksanakan, namun sampai sekarang masyarakat tidak tahu kekuatan utama siswa di Indonesia, apakah di statistik, aljabar, geometri, atau pelajaran lainnya. Seharusnya jika tujuan UN benar adalah untuk pemetaan, maka masyarakat tahu hal ini. Beliau melanjutkan tidak pernah menemukan adanya laporan hasil pemetaan pendidikan dari Kementerian Pendidikan atas hasil UN.
Belum ditindaklanjutinya hasil UN oleh pemerintah memicu protes dari sebagian pihak yang menilainya sebagai ketidakseriusan dalam peningkatan mutu pendidikan dan pemborosan anggaran. Bila pemerintah tidak segera menyikapi hasil UN ini maka akan menambah daftar keraguaan masyarakat akan kredibilitas pelaksanaan dan hasil UN itu sendiri.
Selain untuk memetakan kondisi pendidikan Indonesia, pemerintah berencana mengintegrasikan UN sebagai syarat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bila rencana ini terlaksana maka akan menghemat anggaran yang cukup besar. Namun indikasi praktek kecurangan saat penyelenggaraan dan pengkatrolan hasil UN memperbesar keraguan kredibilitas UN. Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi X DPR, �Selama masih terjadi berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan UN, kredibilitas hasil dari UN patut dipertanyakan dan belum layak dijadikan tiket masuk ke PTN.�
Selain itu, perbedaan sistem penilaian UN dengan SNMPTN menjadi kendala pengintegrasian keduanya. Menurut Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Nurfina Aznam,"Sistem penilaian ujian nasional dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri masih tidak sebanding. Ukuran kemampuan yang dinilai di kedua ujian tersebut berbeda." Bahkan untuk untuk calon mahasiswa yang mengikuti jalur undangan selain nilai UN, nilai rapor dan prestasi peserta didik menjadi salah satu syarat penilaian. Sehingga rencana untuk mengintegrasikan UN dengan SNMPTN sebagai satu-satunya syarat memasuki PTN mengabaikan penilaian objektif peserta didik selama tiga tahun dan prestasi yang dimilikinya.
Menyikapi hasil UN sebagai penentu �hidup dan matinya� peserta didik merupakan bentuk kedzoliman terhadap jerih payah belajar mereka selama tiga tahun. Dan akan lebih dzolim lagi bila hasil UN para peserta didik di seluruh Indonesia disia-siakan begitu saja. Tidak dijadikan bahan evaluasi dan kajian yang komprehensif yang memberikan gambaran tentang kelemahan dan kekurangan pendidikan di Indonesia. Rahim bagi lahirnya kebijakan-kebijakan strategis dan tepat sasaran. Sehingga jangan heran bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut United Nations Deveopment Program turun peringkat. Dari peringkat 108 pada tahun 2010 turun ke peringkat 124 pada tahun 2011. Menurut mereka bobot terbesar penurunan ini terjadi pada dunia pendidikan.
5 Dosa Besar UN

5 Dosa Besar UN

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Selasa 8 Mei 2012


Mulai hari senin dan dua hari berikutnya, anak-anak kelas enam Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI) menempuh Ujian Nasional (UN). Ujian pamungkas yang akan menentukan tuntas tidaknya proses belajar mereka selama enam tahun di sekolah. Bukanlah perkara kecil dalam membimbing dan menguatkan mental mereka hingga detik-detik terakhir UN. Karena pernah terjadi saat pelaksanaan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) seorang siswa belum sampai ke sekolah sedangkan pengawas ujian akan membagikan Lembar Jawab Komputer (LJK). Spontan saja wali kelas panik dan mengambil langkah seribu mendatangi rumah siswa. Ternyata siswa tersebut masih ada di rumah dan terkesan enggan menempuh UASBN-nya. Dengan pendekatan elegan dan simpatik, akhirnya wali kelas berhasil membujuk siswa tersebut untuk mengikuti UASBN. Belakangan terkuak bahwa ketidaksiapan faktor mental yang membuat siswa tersebut tidak bersemangat menempuh ujiannya.
UN sebagai salah  satu instrumen kelulusan siswa telah memperoleh banyak penolakan dari berbagai kalangan sejak tahun pertama rencana pelaksanaannya akan digulirkan. Penolakan ini bukanlah isapan jempol belaka. Karena realita dunia pendidikan di tanah air dipandang belum memungkinkan dan belum saatnya UN diberlakukan. Masih terlalu lebar jurang kesenjangan penyediaan insfrastruktur dan fasilitas pendidikan antar daerah di Indonesia. Hal ini akan melahirkan rasa ketidakadilan pada masyarakat di daerah-daerah tertinggal bila UN tetap dilaksanakan. Tapi pemerintah bergeming dan bersikeras menerapkannya.
Menerapkan UN berarti telah melukai rasa ketidakadilan yang merupakan perbuatan �dosa.� Bila menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara maka perbuatan tersebut termasuk �dosa besar.� Bukan saja telah berdosa kepada dunia pendidikan, pelaksanaan UN telah mencoreng kewibawaan hukum di Negara hukum ini. Berikut 5 dosa besar UN yang telah genap berlangsung selama lima tahun.
Pertama, melanggar putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan perkara nomor: 296K/Pdt/2008, MA telah memerintahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melarang melaksanaan UN di seluruh Indonesia. Keputusan MA ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebelumya yang dikeluarkan pada 6 Desember 2007. Sebagai Negara hukum, setiap warga negara wajib mematuhi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Terlebih bagi institusi tertinggi dunia pendidikan negeri ini yang harus bisa menjadi contoh pertama bagi masyarakat dalam mentaati hukum.
Kedua, belum meratanya sarana-prasarana pendidikan di seluruh Indonesia. Menurut data Kemendikbud bahwa sebanyak 194.000 ruang kelas Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), di Indonesia rusak berat dan perlu segera direnovasi. Sekolah-sekolah tersebut sudah tidak layak dijadikan tempat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Bahkan berpotensi membahayakan siswa yang sedang belajar karena bangunan yang rapuh sewaktu-waktu bisa saja rubuh. Jumlah sekolah tersebut akan berlipat-lipat ganda bila menyangkut ketersediaan fasilitas sekolah yang masih minim dan jauh dari standar kebutuhan pendidikan nasional. Kualitas sarana prasarana pembelajaran akan mempengaruhi kualitas KBM dan output lulusan. Maka tidaklah berlebihan bila pemerintah terlebih dahulu memfokuskan penyetandaran fasilitas pendidikan di seluruh tanah air sebelum menerapkan sistem evaluasi berstandar nasional.
Ketiga, belum meratanya kualitas guru.  Berdasarkan data Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PMPTK) Depdiknas, jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2007 mencapai 922.308 guru, terdiri dari 472.475 guru honorer di sekolah negeri dan 449.883 guru di sekolah swasta. Kini angka statistik tersebut cenderung belum banyak berubahan. Karena tingkat pertumbuhan jumlah guru honorer belum mampu diimbangi dengan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setiap tahunnya. Walaupun kini sedang berjalan program sertifikasi guru tetapi program ini malah menambah polemik permasalahan baru. Terutama tentang kebijakan guru yang telah memenuhi syarat sertifikasi.
Keempat, membengkaknya anggaran biaya UN. Tahun 2009, UN menghabiskan biaya anggaran  Rp.572 Milyar, Tahun 2010 Rp.590 Milyar, Tahun 2011 Rp.600 Milyar dan Tahun ini Rp.600 Milyar. Anggaran tersebut belum termasuk biaya pendistribusian soal hingga ke daerah-daerah. Oleh sebagian kalangan pelaksanaan UN hanya pemborosan anggaran saja. Karena masih banyak permasalahan mendesak di dunia pendidikan yang memerlukan penangan segera seperti tingginya angka putus sekolah. Menurut data Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 di 33 propinsi tercatat sekitar 11,7 juta jiwa putus sekolah.
Kelima, mengerdilkan makna pendidikan. Pendidikan merupakan upaya sadar untuk memanusiakan manusia. Pada prinsipnya pendidikan harus bisa menyentuh tiga aspek yang terdapat dalam diri siswa. Aspek kognitif atau pengetahuan, aspek afektif atau sikap, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Ketiga aspek tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan pada diri siswa. Dari ketiga aspek mendasar tersebut, UN hanya mampu mengevaluasi satu aspek saja. Inilah yang menjadi salah satu penolakan banyak kalangan pendidikan. Karena UN hanya fokus pada aspek kognitif atau pengetahuan saja. Sedangkan kedua aspek dasar lainnya tidak digunakan. Begitupun UN dipandang menganaktirikan mata pelajaran-mata pelajaran yang tidak di-UN-kan seperti mata pelajaran agama, Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), olah raga, pendidikan seni budaya dan lainnya. Seolah-olah mutu pendidikan kita ditentukan oleh mata pelajaran yang di UN-kan saja. Yang lebih memprihatinkan usaha belajar siswa selama bertahun-tahun seolah-olah tidak dijadikan pertimbangan sebagai syarat kelulusan. Karena pada ujung-ujungnya hanya ditentukan oleh beberapa hari ujian saja.
Sudah menjadi sifat alamiah jika setiap individu diciptakan dengan potensi dan kemampuan yang tidak sama. Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola potensi yang berbeda tersebut. Kemudian mendominankannya supaya bisa memberikan kontribusi terbaik bagi bangsanya.
Membentuk Budaya Literasi Siswa

Membentuk Budaya Literasi Siswa

Oleh : Wisnu Nugraha
          Guru di Ponpes Al-Basyariyyah Cigondewah Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Jumat 30 Maret 2012


Dalam beberapa kali kesempatan, sambil bercanda, saya sering melontarkan pertanyaan kepada teman-teman guru tentang siapa penyair Indonesia yang mereka kenal. Jawaban yang saya peroleh selalu sama, yaitu Chailril Anwar. Lalu ketika diajukan pertanyaan lanjutan apa puisi yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar. Jawaban seragam pun nyaris sama seperti jawaban yang pertama,�Aku�. Padahal dalam sejarah sastra Indonesia ada banyak penyair Indonesia yang hebat dan �Aku� bukan satu-satuya puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar tetapi mengapa jawabannya tidak berubah.
Kondisi di atas seolah ingin mengkonfirmasi beberapa hal tentang pendidikan Indonesia. Pertama, inilah akibatnya kalau pendidikan kita dikelola secara sentralistik-uniformistik. Siswa dipaksa untuk melahap kurikulum pembelajaran yang seragam, cara berpikir yang seragam, cara berpikir yangseragam, cara berbicara yang seragam, bahkan pakaian pun didesain untuk seragam.
Kedua, terbatasnya jawaban sosok �Chairil Anwar� untuk pertanyaan siapa penyair Indonesia, dan �Aku� untuk pertanyaan apa puisi yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar menunjukkan bahwa budaya literasi siswa Indonesia masih sangat rendah.
Literasi pada dasarnya mengacu pada kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemampuan menyimak dan berbicara. Dengan demikian, literasi identik dengan kemampuan menyeluruh keterampilan berbahasa yangterdiri dari kemampuan mnyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu seorang dikatakan literate (terdidik) apabila ia menguasai keempat keterampilan berbahasa. Dan keempat keterampilan berbahasa tersebut, khususnya keterampilan membaca dan menulis perlu terus dipelajari, dilatih, dan dibiasakan secara konsisten.
Bila seorang anak tidak mengalami pembudayaan dan pembiasaan membaca di rumah dan sekolah, maka kemampuan dan kebiasaan membacanya hampir dipastikan tidak akan berkembang. Tanpa adanya kemampuan membaca, kemampuan menulis seseorang tentu saja tidak akan tumbuh. Dengan demikian, kemampuan literasi harus menjadi jantung dari semua proses pendidikan mulai dari pendidikan prasekolah sampai ke perguruan tinggi.
Menurut Bambang Wisudo, salah seorang pegiat pedagogi dan literasi kritis, salah satu syarat utama untuk menjadikan literasi sebagai jantung dalam proses pendidikan  di sekolah adalah ketersediaan buku-buku di sekolah. Artinya membentuk budaya literasi siswa meniscayakan sekolah menyediakan buku-buku yang dapat diakses tidak hanya terbatas pada buku paket. Arus diakui bahwa buku paket masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Banyak guru yang masih memosisikan buku paket sebagai kitab suci dan satu-satunya sumber pengetahuan yang harus dihafal oleh semua siswa. Mereka menyampaikan materi persis seperti apa yang tertera pada buku paket yang menjadi pegangannya. Boleh jadi fenomena kasus �Chairil Anwar� dan �Aku� menjadi akibat dari dominasi buku paket di sekolah.
Oleh karena itu, sudah saatnya sekolah-sekolah mempunyai keberanian untuk melepaskan diri dari ketergantungan mereka terhadap buku paket. Di tingkat SD misalnya, guru bahasa Indonesia bisa menjadikan cerpen-cerpen anak yang sudah dimuat di Koran baik local maupun nasional sebagai bahan ajar. Di tingkat SMP, ada sederet buku sastra Indonesia untuk dijadikan bahan ajar untuk menumbuhkan budaya literasi, seperti Harimau-Harimau kaya Mochtar Lubis atau Calon Arang dan Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, dan masih banyak lagi.
Sebagai referensi, kelompok Paedia membuat daftar bacaar untuk siswa SD sampai SMA. Daftar tersebut mencakup ratusan buku yang terdiri dari buku-buku fiksi dan nonfiksi. Dalam daftar bacaan tersebut ada buku kumpulan puisi, drama, feature, biografi, dan filsafat.
Di tingkat SMA misalnya, siswa telah �dihalalkan� untuk membaca karya sastra karya Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, William Shakespeare, sampai penulis Amerika Latin Gabriel Garcia-Marquez dengan bukunya yang terkenal One Hundred Years of Solitude. Untuk nonfiksi mereka diminta membaca antara lain buku karya St. Agustine, John Locke, Albert Einstein, Charles Darwin, Immanuel Kant, Nicolo Machieavelli, sampai buku  The Communist Manifesto karya Karl Marx dan Frederick Engels.
Mengajari anak membaca buku-buku semacam itu tidak mudah membalikkan telapak tangan. Proses tersebut meniscayakan guru-guru mengerahkan tenaga, pikiran, kesabaran, dan tentu saja wawasan yang sangat luas.
Kalau literasi semacam itu dijadikan jantung pembelajaran, maka beberap tahun ke depan, saya yakin budaya literasi di Indonesia akan betul-betul terbentuk.
Tidak hanya terjadi pada siswa, tapi pada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Disiplin Tanpa Hukuman

Disiplin Tanpa Hukuman

Oleh : Edi Kusmawan, S.Ag
          Guru di MI At-Taufiq, Kota Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Jumat 23 Oktober 2009


Suatu hari, seorang siswa terlambat datang ke sekolah. Untuk menjaga ketertiban dan penegakan aturan sekolah, siswa tersebut dihukum. Untuk memberikan efek jera, siwa diperingatkan bahwa hukuman akan lebih berat lagi bila siswa tersebut mengulangi perbuatannya.
Bila kita renungkan, seberapa efektifkah upaya guru dalam mendisiplinkan siswa tersebut melalui hukuman? Kemudian, sampai kapan hukuman tersebut akan efektif? Ilustrasi di atas merupakan upaya penegakan disiplin melalui paksaan hukuman yang diterapkan bersifat memaksa dan cenderung kaku. Menurut psikolog Latif. S,�Disiplin itu merupakan suatu upaya pengendalian diri secara paksaan, dikaitkan dengan hukuman dan paksaan.�
Berdasarkan oengalaman, menegakkandisiplin melalui hukuman in terbukti efektif. Karena,  siswa cenderung cepat beradaptasi dalam menaati rambu-rambu dan norma-norma yang berlaku di sekolah. Hal ini akan memudahkan guru dalam menjalankan peran dan fungsinya di sekolah. Namun ada beberapa hal yang perlu diwaspadai jika hanya mengandalkan penegakan disiplin model ini.
Pertama, siswa mengidentikkan disiplin dengan upayamenghindar dari hukuman. Contoh, bagi siswa, membuang sampah sembarangan di lingkungan sekolah merupakan perilaku tidak disiplin. Ini artinya, hukuman bagi setiap pelanggar aturan.oleh sebab itu, sebisa mungkin para siswa akan menaati aturan karena takut dihkum. Tapi kemudian muncul pertanyaan, apakah penerapan penegakan disiplin model ini efektif juga ketika siswa di luar lingkungan sekolah, di mana pengawasan dan kepedulian masyarakat akan kebersihan masih relatif rendah?
Kedua, penerapan disiplin dengan paksaan tidak mampu mengubah perilaku dan karakter yang dimiliki siswa. Dalam media pemberitaan, kita sering menyaksikan berbagai kasus kenakalan remaja. Bila ditelusuri, ternyata siswa-siswa tersebut termasuk siswa yang taat dalam menegakan aturan yang berlaku di sekolah. Tetapi ketika mereka keluar dari lingkungan sekoalh, kasus kenakalan remaja selalu terjadi.
Ketiga, tidak memiliki inisiatif dalam berdisiplin. Siswa merasa perilaku disiplin adalah dorongan dari luar, bukan dari dalam dirinya. Mereka mengidentikkan disiplin sebagai upaya yang harus selalu diawasi dan pelanggarnya akan memperoleh konsekuensi atau hukuman.
Keempat, bagi siswa perilaku disiplin merupakan beban, hal ini disebabkan perilaku disiplin yangterbentuk pada diri siswa tidak disertai pemahaman akan manfaat dan keuntungan dari perilaku disiplinnya sehingga perilaku disiplin bukanlah panggilan dari dalam hati mereka, tetapi sebuah paksaan yang membebani pikiran dan perasaan mereka.
Menerapkan disiplin melalui paksaan hanya efektif dilakukan pada lingkungan yang selalu diawasi dan dalam ruang lingkup yang sempit. Siswa yang terbiasa disiplin di sekolah belum tentu sanggup menerapkannya di luar sekolah. Oleh sebab itu, diperlukan suatu upaya untuk menumbuhkan sifat disiplin siswa berdasarkan kesadarannya. Maksud kesadaran ini adalah para siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manfaat-manfaat yang dapat diperoleh bila menerapkan dan mengimplementasikannya di sekolah dan di lingkungan sekitar mereka. Siswa pun memahami kerugian yang bisa ditimbulkan bila tidak menerapkannya.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru untuk menerapkan disiplin tanpa hukuman. Pertama, berilah para siswa contoh perilaku disiplin melalui pola sikap para guru di sekolah. Seperti kata pepatah, �pengalaman adalah guru yang paling bijak.� Dan bagi siswa, pembelajaran disiplin melalui contoh langsung dari para guru lebih memotivasi mereka untuk meniru perilaku yang sama.
Kedua, berikan pemahaman tentang keuntungan dan kerugian dari penerapan disiplin di sekolah dan di luar sekolah. Penjelasan yang diberikan dapat didekati dari berbagai sudut pandang ilmu. Contoh, ajak siswa untuk berperilaku bersih dengan cara membuang sampah pada tempatnya karena perilaku tersebut merupakan cerminan dari seorang yang berpendidikan. Dalam perspektif agama, kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan guru pun dapat menjelaskan manfaat dari perilaku disiplin dalam membuang sampah ini dalam berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.
Ketiga, berikan kesempatan kepada para siswa dalam mengapresiasikan perilaku disiplinnya. Jangan biarkan mereka sendirian tanpa diberi wadah untuk mengapresiasikan perilaku disiplinnya. Misal, guru mengadakan jadwal piket piket untuk kebersihan kelas.
Keempat, sediakan sarana dan prasarana yang memadai. Ada kalanya siswa tidak berperilaku disiplin karena pihak sekolah tidak menyediakan fasilitas yang memadai. Misal, siswa dimotivasi untuk membuang sampah pada tempatnya. Tetapi karena tidak tersedia tempat sampah yang memadai, akhirnya siswa membuang sampah bukan pada tempatnya.
Kelima, berikan penghargaan kepada siswa yang menegakkan perilaku disiplin. Penghargaan ini penting diberikan untuk meningkatkan motivasi mereka dalam berdisiplin. Selain itu, penghargaan ini sebagai bukti perhatian guru dan sekolah kepada para siswa yang telah berusaha berperilaku disiplin.
Menyikapi Penyalahgunaan Teknologi Ponsel

Menyikapi Penyalahgunaan Teknologi Ponsel

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru di MI At-Taufiq, Kota Bandung
          Artikel ini  pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Selasa 15 Juni 2010


Kembali, pemberitaan tanah air dihebohkan oleh beredarna video mesum yang diduga mirip dengan artis cantik terkenal ibu kota dan vokalis band papan atas. Video ini terdiri atas dua bagian, masing-masing berdurasi 6 menit 49 deti dan 2 menit 30 detik. Awalnya masyarakat dapat mengunduh di situs www.kaskus.us,tetapi kemudian file di situs tersebut tidak bisa diunduh lagi. Video pun mulai menyebar melalui Bluetooth telepon selular (ponsel).
Peredaran video mesum yang melibatkan public figurebukanlah yang pertama kali saja. Beberapa tahun yang lalu, masyarakat dikejutkan oleh peredaran video mesum yang melibatkan seoranganggota DPR RI dengan seorang artis dangdut ibu kota. Begitu besarnya perhatian masyarakat waktu itu, diberitakan bahwa video ini sempat beredar di situs Youtube.Hanya dalam satu hari saja video ini mampu menyedot perhatian 20 juta orang untuk  mengaksesnya.
Menyaksikan realita seperti ini, semua merasa prihatin dan khawatir. Terlebih bagi para orang tua yang memiliki anak usia remaja. Karena anak remaja yang sedang pada masa puberitas lebih rentan dipengaruhi oelh hal-hal negatif dari lingkungan sekitar mereka.
Faktor tingginya intensitas penetrasi informasi yang diterima seorang anak. Bilatidak diimbangi fungsi kontrol dari orang tua, bisa mengakibatkan anak lebih mudah terpengaruhi oleh hal-hal yang tidak kita harapkan. Hal ini diperparah lagi oleh semakin pesatnya teknologi komunikasi, ponsel. Bila sampai disalahgunakan, teknologi ini bisa memuluskan menyebarnya pengaruh negatif kepada anak remaja.
Saat ini, peran ponsel tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari kita. Bentuknya yang mungil dan ringan, memudahkan siapa saja untuk membawanya ke mana-mana. Fungsinya pun berkembang dari sekedar alat untuk berkomunikasi, menjadi alat untuk mengakses informasi dan hiburan. Bukan itu saja, harganya yang semakin terjangkau menjadikan ponsel bukan lagi sebagai barang eksklusif yang hanya dimiliki para eksekutif saja. Tetapi anak usia Sekolah Dasar (SD) pun sudah banyak yang telah menggunakannya. Oleh sebab itu dinas pendidikan (Disdik) kota Bandung mengeluarkan instruksi kepada sekolah agar memperketat pengawasan terhadap seluruh siswanya terkait dengan maraknya peredaran video panas di kalangan masyarakat.
Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Pihak sekolah dapat mengupayakan beberapa hal untuk mengurangi terjadinya penyalahgunaan ponsel oleh siswa di lingkungan sekolah.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah melarang setiap siswa untuk membawa ponsel ke sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan dari penyalahgunaan ponsel dan pengaruh negatifnya bagi siswa. Andaikan para siswa harus dihadapkan pada keperuan mendesak, siswa dapat memanfaatkan telepon sekolah atau telepon umum yang tersedia di lingkungan sekolah.
Cara lain adalah siswa diperbolehkan membawa ponsel yang diperuntukkan untuk menelepon dan SMS aja. Siswa tidak diperkenankan membawa ponsel yang memiliki kemampuan untuk membuat dan membuka video, gambar dan mengakses internet.
Langkah selanjutnya adalah memperketat pengawasan kepada para siswa yang membawa ponsel ke sekolah. Secara berkala, para guru dapat melakukan razia kepada para siswa yang membawa ponsel ke sekolah. Hal ini dilakukan sebagai pengingat dan penegakkan disiplin bahwa alat komunikasi tidak diperkenankan dibawa siswa ke lingkungan sekolah.
Penting juga untuk meningkatkan �imunitas� siswa terhadap kemungkinan pengaruh buruk dari lingkungan sekitarnya melalui pendidikan agama yang berkarakter. Pendidikan agama yang tidak sekedar retorika dan konsep dasar yang jauh dari implementasi sehari-hari.
Selanjutnya yang tidak boleh dilupakan adalah mengajarkan cara berinternet yang sehat. Sebagai media informasi paling dinamis di dunia. Internet menyajikan beragam informasi dan ilmu pengetahuan yang tidak terbatas.
Untuk menghindarkan siswa dari pengaruh media yang cenderung terbuka seluas-luasnya ini. Maka guru dapat memanfaatkanya sebagai media untuk menemukan dan menyalukan hobi para siswanya. Missal, siswa yang tertarik dengan ilmu astronomi, dia dapat mengakses berbagai situs bertemakan antariksa dan perkembangannya. Melalui, www.langitselatan.com.
Langkah terakhir adalah meningkatkan keakraban dalam berkomunikasi antara guru dan siswa. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan teknologi komunikasi oleh siswa, para guru harus proaktif dan peka dalam menangkap perkembangan yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Proaktif dalam memberikan penjelasan tentang fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Membekalinya dengan ilmu supaya dia memahami dan terhindar dari pengaruh negatifnya.
Apapun teknologinya, pada dasarnya mereka adalah alat  yang memiliki peran ganda. Dia dapat memberikan nilai manfaat bagi siapa yang menggunakannya secara bijak. Tetapi ia pun memiliki sisi buruknya pula, bila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Back To Top