Oleh : Marinus Waruwu
Guru SMP Yos Sudarso, Kota Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat, Senin 29 Oktober 2012
Guru SMP Yos Sudarso, Kota Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat, Senin 29 Oktober 2012
Untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru, persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sedang menyusun kode etik bagi guru di sekolah. Menurut ketua umum PGRI Sulistiyo, kode etik itu akan diberlakukann tahun 2013.
Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) mencakup 70 panduan sikap dan norma bagi guru dalam mendidik peserta didik. Isi kode etik itu menyangkut norma dan perilaku guru dalam relasi dengan peserta didik, orangtua, masyarakat, rekan profesinya, oraganisasi guru, dan pemerintah.
Penulis sangat mendukung berbagai upaya PGRI dalam menciptakan dan menformat para guru yang handal dan profesional dalam tugas, termasuk dengan menyiapkan kode etik bagi para guru. Namun, kelahiran kode etik ini tentu akan mengundang pro dan kontra di kalangan guru. Bahkan kode etik guru ini sudah memunculkan kegelisahan sebagian guru di sekolah. Mereka menganggap, dengan adanya kode etik maka kreativitas guru akan semakin menurun. Benarkah demikian?
Penulis mencoba merefleksikan beberapa peluang dan ancaman dengan adanya kode etik ini. Kode etik akan mendorong guru untuk bersungguh-sungguh mengutamakan profesionalisme dan kualitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik di sekolah. Selain itu, akan mendorong independensi guru di sekolah dan di mana pun dia berada. Kode etik tentu akan menambah wawasan bagi guru tentang mana yang pantas dan tidak boleh dilakukan, mana yang bertentangan dengan aturan. Guru tahu bahwa segala tindak tanduknya di sekolah memiliki aturan main.
Kode etik guru juga dapat menghindarkan guru menjadi seorang penjilat, baik terhadap atasan maupun orangtua siswa. Dengan begitu, guru tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan sesuatu dari orangtua, seperti materi, pujian, dan sebagainya.
Dengan kode etik ini pula guru akan disadarkan, menjadi seorang guru merupaka sebuah panggilan, bukan paksaan, atau karena kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu totalitas dan loyalitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Bagaimana dengan ancaman? Kreativitas guru akan terbentur dengan kode etik guru. Di satu sisi guru akan berusaha bersikap tegas dengan segala reward and punishmentdalam mendidik siswa, di sisi lain, segala upaya dan daya juang guru bisa saja dibenturkan dengan norma perilaku guru seperti tertuang dalam kode etik, sehingga menyebabkan kecenderungan bahwa punishmentdari seorang guru terhadap peserta didik tertentu dianggap bertentangan dengan kode etik guru. Guru menjadi serba salah!
Kode etik akan melahirkan sikap mencari-cari kesalahan guru di sekolah. Jika kode etik ini benar disosialisasikan, maka orangtua dan peserta didik akan semakin peka terhadap setiap gerak-gerik guru dalam menjalankan tugas dan pelayanannya.
Terlepas dari segala peluang dan ancaman itu diharapkan kehadiran kode etik guru akan semakin mendorong peningkatan kualitas dan profesionalisme guru Indonesia. Selain itu, para guru juga akan semakinpeka terhadap tuntutan zaman, terbuka terhadap kritik dan masukan, memiliki totalitas dan loyalitas dalam profesi sebagai guru, mencintai profesi guru serta menyadari bahwa menjadi seorang guru adalan sebuah panggilan mulia. Semoga!
0 Komentar untuk "Kode Etik Guru, Peluang atau Ancaman?"