Oleh : Septiardi Prasetyo
Guru di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah, MI At-Taufiq, Kota Bandung
Guru di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah, MI At-Taufiq, Kota Bandung
Kekerasan tampaknya bukan saja domain dunia premanisme saja. Dunia pendidikan kita pun sepertinya tidak luput dari pengaruh domain ini. Tawuran pelajar antar dua SMAN di Jakarta yang berujung maut merupakan salah satu anomali faktanya. Anomali karena peristiwa ini terjadi ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya menerapkan pendidikan berbasis karakter, ketika pemerintah secara intensif dan sistematis sedang mengupayakan peningkatan kompetensi guru melalui program sertifikasi, ketika anggaran pendidikan telah jauh melampaui angka 200 trilliun pertahun.
Peribahasa guru kencing berdiri, siswa kencing berlari merupakan sindiran bagi kita para penggiat dunia pendidikan. Bisa saya pastikan, tak ada satu pun guru yang mengajarkan dan mencontohkan anak didiknya tawuran. Tak ada satu pun mata pelajaran yang membenarkan perilaku tawuran. Namun mengapa peristiwa yang merenggut nyawa para penerus bangsa ini masih marak terjadi?
Tawuran pelajar biasanya terjadi sesaat setelah mereka menikmati indahnya gempita dunia ilmu pengetahuan, sejuknya nilai-nilai akhlak mulia, tentramnya suasana lingkungan belajar. Tidak berlebihan bila kita bertanya pada diri kita sendiri, benih-benih apa yang telah kita tanamkan di sel-sel otak anak didik kita? Bekal apa yang kita titipkan di hati nurani mereka? Keterampilan apa yang telah kita latihkan kepada panca indera mereka untuk menghindari tawuran?
Sepertinya ada missing link yang kentara di dunia pendidikan karakter kita. Terdapat jurang pemisah yang teramat lebar yang mengakibatkan tumpulnya logika anak didik kita dalam mencegah dan menghindari perilaku tawuran. Sepertinya perlu adanya suatu strategi pembelajaran yang efektif dan aktif yang bisa digunakan dalam mencegah tawuran melalui upaya internalisasi nilai-nilai positif. Inilah yang menjadi sorotan Lickona(1992) dalam menanamkan komponen karakter baik (component of good character) pada anak didik perlu adanya tiga komponen mendasar yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action).
Pengetahuan tentang moral (moral knowing) merupakan komponen pertama yang harus ditanamkan pada diri setiap anak didik. Mereka harus bisa membedakan antara perbuatan terpuji dan sebaliknya. Mereka harus memahami keuntungan dan konsekuensi yang harus mereka terima bila mereka melanggarnya. Mereka harus memiliki pengetahuan tentang solusi bila dihadapkan pada kondisi yang mengarahkan mereka pada perbuatan yang bertentangan dengan moral-moral positif.
Banyak cara yang bisa digunakan dalam menanamkan pengetahuan tentang (moral knowing) dalam pembelajaran di kelas. Mulai dari menjelaskan apa itu moral yang baik beserta contoh-contohnya hingga menceritakan perjalanan hidup tokoh-tokoh inspiratif. Mereka pun dapat mencari dan mempelajarinya sendiri di buku-buku, internet dan media lainnya untuk kemudian di share dalam forum diskusi. Diharapkan mereka fondasi pengetahuan dan wawasan yang luas tentang moral yang baik.
Setelah anak didik memahami perilaku tawuran bukan termasuk moral yang baik. Begitupun memiliki pemahaman tentang konsekuensi akademik, sosial hingga hukum bagi para pelakunya. Upaya internalisasi nilai-nilai positif yang berkaitan dengan pencegahan perilaku tawuran dilanjutkan kapada kepemilikan perasaan tentang moral (moral feeling). Menurut Piaget perasaan tentang moral (moral feeling) merupakan sumber energi yang efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan tentang moral (moral knowing) dan perbuatan moral (moral action). Dengan kata lain perasaan tentang moral (moral feeling) merupakan fondasi yang kokoh dalam menghubungkan apa yang dipahami anak didik dengan apa yang harus mereka lakukan.
Indikator dari kompetensi perasaan tentang moral (moral feeling) adalah dari kemampuan anak didik dalam berempati kepada orang lain. Mampu merasakan perasaan orang lain dan termotivasi untuk selalu berbuat kebaikan. Metode pembelajaran yang bisa digunakan saat pembelajaran di kelas untuk menumbuhkan perasaan tentang moral (moral feeling) anak didik adalah metode diskusi. Guru dapat mengawalinya dengan menguraikan perilaku tawuran. Baik secara lisan, menunjukkan kliping koran atau melalui tayangan video. Setelah itu siswa diajak untuk merenungkan apa yang terjadi bila mereka atau salah satu orang yang mereka sayangi menjadi salah satu korban tawuran. Bagaimana perasaan orang tua dan keluarga mereka. Bayangkan dengan kemungkinan akibat yang berupa cacat fisik hingga nyawa melayang. Ajak mereka merenungkan apa yang mereka rasakan bila mereka harus masuk penjara, jauh dari orang tua dan orang-orang yang mereka sayangi. Guru dapat menampilkan video atau foto tentang kondisi penjara. Bagaimana dengan nasib masa depan mereka.
Di akhir penjelasan guru meminta siswa untuk mengungkapkan pendapat, perasaan atau pengalaman mereka berkaitan dengan fenomena tawuran pelajar. Menakut-nakuti anak didik bukanlah semangat dari upaya menumbuhkan perasaan tentang moral (moral feeling). Namun lebih kepada meningkatkan kepekaan mereka dalam merasakan perasaan orang lain.
Komponen terakhir dari penanaman komponen karakter baik (component of good character) menurut Lickona adalah perbuatan moral (moral action). Komponen terakhir ini merupakan buah dari kedua komponen sebelumnya. Indikator utama dari perbuatan tentang moral (moral action) adalah nilai-nilai kebaikan telah menjadi kebiasaan (habit) bagi anak didik. Kebiasaan (habit) positif anak didik ini tidak terlepas dari konsistensi sekolah dalam menjalankan pembinaan secara berkelanjutan. Baik itu dalam bentuk fungsi pengawasan dan menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang bisa menghindarkan anak didik dari perilaku tawuran.
Kita mengharapkan peristiwa tawuran antar pelajar tidak pernah terjadi lagi di negeri ini. Tanggung jawab pendidikan anak didik tidak hanya terpusat pada sekolah dan orang tua saja. Tapi masyarakat, media dan pemerintah memiliki porsi tanggung jawabnya. Kita mengharapkan masyarakat menjadi model ideal dalam menerapkan hablumminannas.Kita pun mengharapkan media cetak dan elektronik dapat menjadi corong yang konsisten dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Kita pun tidak berhenti berharap kepada pemerintah baik itu legeislatif, eksekutif dan yudikatif untuk menjadi teladan (uswatun hasanah) bagi generasi mudanya.
0 Komentar untuk "Missing Link di Pendidikan Karakter"