Setuju dengan Pendidikan Karakter
Oleh : Septiardi Prasetyo
Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation
Unit MTC Kota Bandung
Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation
Unit MTC Kota Bandung
Dalam sebuah wawancara di salah satu televisi swasta nasional, Capres yang tidak perlu disebutkan nama dan nomor urutnya mengutarakan keprihatinan terhadap sistem pendidikan Indonesia saat ini. Kemerosotan akhlak dan lemahnya karakter generasi muda mengharuskan pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh sistem pendidikan Nasional. Seharusnya pendidikan akhlak ditanamkan sejak anak sekolah tingkat SD.
Mengutip pernyataan beliau, idealnya untuk sekolah dasar (SD) 80% diisi pendidikan akhlak, karakter dan budi pekerti sedangkan sisanya pengetahuan umum. Untuk SMP 60% akhlak, karakter dan budi pekerti, 40% nya pengetahuan umum. Sedangkan untuk SMA sebaliknya dari SMP. Beliau berpendapat kalau pendidikan sekarang tingkat SD terlalu dijejali matematika dan pengetahuan umum lainnya.
Pakar pendidikan karakter, Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter (character education) terdiri atas konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling) dan perilaku moral (moral behavior). Pengetahuan moral diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai positif di lingkungannya. Kepekaan siswa pun perlu dilatih melalui penjelasan contoh kasus dan pemberian motivasi tentang manfaat berperilaku baik hingga tumbuh keinginan siswa untuk menirunya. Yang terpenting yang merupakan tujuan dari proses pendidikan karakter adalah aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini merupakan lanjutan dari dua proses sebelumnya. Sehingga pembekalan pengetahuan moral dan motivasi harus terus disuntikkan di semua jenjang pendidikan.
Namun diproses ketiga inilah yang dinilai paling lemah. Karena dalam penerapannya diperlukan keterlibatan beberapa pihak yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Pusat pendidikan yang pertama adalah keluarga. Keluarga sebagai komunitas utama sepulang siswa dari sekolah. Jika keluarga dapat memainkan perannya dalam pendidikan maka bisa menjadi penentu terbesar bagi keberhasilan pendidikan putra-putrinya.
Kedua, lingkungan sekolah. Sebagai lingkungan pendidikan formal, sekolah memainkan peran terbesar kedua dalam pembentukan karakter siswa. Sayangnya, peran sekolah dalam pendidikan masih dibatasi oleh kurikulum dan kuantitas mata pelajaran yang masih dirasa memberatkan. Sehingga pihak sekolah terlalu disibukkan oleh berbagai administrasi dan rutinitas yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan karakter secara langsung.
Ketiga, Lingkungan Organisasi Pemuda atau bisa diartikan sebagai lingkungan masyarakat. Tempat di mana siswa dapat secara langsung mempelajari dan menerapkan pengetahuannya. Peran lingkungan masyarakat ini terkadang menjadi faktor yang paling dominan dalam pembentukan karakter bila fungsi keluarga dan peran sekolah tidak dapat bekerja.
Setuju dengan pendidikan karakter dengan catatan persentase tidak dimaksudkan penambahan mata pelajaran atau jam belajar. Karena akan membebani dan mengurangi makna dari pendidikan karakter itu sendiri. Alangkah bijaksananya bila pendidikan karakter diintegrasikan pada setiap mata pelajaran yang telah ada.